Senin, 02 April 2012

Masjid Yang Terbuat Dari Lumpur

Masjid ini didirikan berdasarkan kearifan lokal penduduk Djenne pada awal abad 20-an. Lumpur dan kayu palem yang melimpah menjadi material dalam bangunan masjid yang disesuaikan dengan iklim panas di Afrika Barat.

Masjid didirikan dari batu bata lumpur yang dikeringkan dengan sinar matahari (ferey) dan semen. Sementara lapisan luar menggunakan plester juga berbahan dasar lumpur sehingga memberi tampilan halus berkelok, seperti patung. Masjid ini sangat terlihat elegan karena dibangun dengan gaya arsitektur lokal.

Dinding masjid memiliki ketebalan antara 40 cm-60 cm, yang berguna untuk menahan berat struktur masjid yang tinggi selain untuk melindungi dari radiasi sinar matahari. Jadi saat siang, dinding masjid hangat secara bertahap dari luar, dan di malam hari perlahan menjadi dingin.

Ruang utama masjid disanggah dengan sembilan puluh pilar kayu yang menopang langit-langit, dapat menampung hingga 3 ribu orang. Sifat dingin kayu membantu interior masjid agar tetap sejuk di waktu siang hingga sore. Masjid agung itu juga memiliki ventilasi udara dengan penutup keramik. Penutup itu dapat dipindahkan pada malam hari untuk ventilasi udara dalam masjid.

Menurut sejarah, dahulu masyarakat Djenne memiliki masjid untuk pertama kalinya pada tahun 1280. Sultan Djenne saat itu Koi Konboro, mengubah istananya menjadi masjid ketika beliau masuk ke dalam agama Islam. Masjid yang ini sangat terkenal hingga ke seluruh dunia.

Tak banyak diketahui nasib masjid yang didirikan Koi Konboro itu, tapi masjid itu dinilai terlalu mewah oleh penguasa Djenne pada awal abad ke-19 saat itu, Sheikh Amadou. Amadou membangun masjid kedua tahun 1830 dan tidak merenovasi masjid pertama hingga jatuh dengan sendirinya.

Masjid Agung Djenne yang saat ini berdiri dibangun tahun 1906 dan selesai satu tahun kemudian pada tahun 1907. Saat itu desain masjid dirancang oleh Ismaila Traoré, ahli bangunan yang juga memimpin proyek pembangunan masjid ini. Mali saat itu di bawah kendali Prancis, yang menawarkan beberapa bantuan finansial dan politik untuk pembangunan masjid.

Letak Masjid Agung Djenne yang dekat dengan Sungai Bani membuatnya rentan terkena banjir saat air sungai itu meluap setiap tahun. Usai musim hujan atau saat musim semi, biasanya lebih dari 4 ribu orang berkumpul untuk memplester kembali masjid dari lumpur ini. Beberapa penduduk menyiapkan campuran lumpur dan sekam untuk bahan memplester.

Untuk mempercepat proses tersebut, mereka menggunakan kayu sebagai penguat dan penopang. Kebiasaan memplester ini menjadi semacam festival bagi penduduk Kota Djenne.

Karena keunikannya, pada tahun 1988, kota tua Djenne dan masjid agungnya diresmikan menjadi situs sejarah dunia oleh UNESCO. Masjid Agung Djenne pun terkenal sebagai simbol Kota Djenne dan Bangsa Mali.

Kini masjid Djenne masih menjadi salah satu bangunan penting di Afrika Barat. Umat Muslim dan turis dari seluruh dunia datang mengagumi struktur bangunan masjid, selain beribadah. Ada yang berdoa, belajar, dan juga berguru. Masyarakat kurang mampu dari sekitar Kota Djenne pun mengirim anak-anak mereka setiap bulan atau setiap tahun, untuk belajar menulis dan membaca.

Di depan Masjid Agung Djenne, terkadang terdapat pasar dadakan yang diadakan warga Kota Djenne. Kote Djenne sendiri kini menjadi pusat perdagangan hasil pertanian.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar